Perihal literasi mungkin tidak asing khususnya bagi kalangan akademik, pegiat pendidikan, dan masyarakat yang modern. Mereka kebanyakan sudah mengerti dan paham akan manfaat berliterasi dengan baik. Tujuan mereka berliterasi tidak lain adalah mereka ingin mendapatkan informasi–informasi penting, misalnya informasi mengenai dunia pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, agama, bahkan isu–isu terbaru. Masyarakat yang memiliki growth mindset tentunya mereka memiliki pandangan yang luas mengenai kehidupan dunia ini yang kian hari semakin berkembang pesat. Dengan segala kesadaran diri akan kebutuhan informasi dan pengetahuan, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah dan mau untuk melakukan kegiatan literasi secara sadar dan mandiri. Namun hal ini justru bertolak belakang dengan masyarakat awam yang tidak memiliki kesadaran untuk berliterasi dengan baik. Hal ini tentunya akan membuat kesenjangan dalam hal persepsi mengenai perubahan dunia yang semakin maju dan canggih. Orang yang dapat berliterasi dengan baik tentunya lebih mudah dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan zaman. Mereka bisa memilah seperti apa dan bagaimana suatu informasi dapat diterima kebenarannya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kebiasaan berliterasi lebih mudah untuk terprovokasi karena tidak menelusuri kebenaran dalam suatu informasi yang mereka terima. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dengan berliterasi, kita akan mampu memfilter informasi mana yang benar dan mana yang salah.
Menurut Kominfo, Indonesia temasuk negara yang malas untuk membaca. Hal ini dijelaskan dari penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, yang menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat masyarakat Indonesia untuk membaca sangatlah rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang sering membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan berada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur dan fasilitas yang telah tersedia untuk mendukung membaca, Indonesia memiliki fasilas yang mumpuni dan peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dilihat dari sarana dan prasarana dalam berliterasi misalnya ketersedian perpustakaan (Devega, 2020)
Uniknya adalah sejumlah 60.000.000 warga negara Indonesia memiliki gadget atau perangkat yang dapat mengakses intenet dan termasuk kedalam 5 besar negara pengguna gadget aktif. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika (Devega, 2020). Ini artinya, warga negara Indonesia memiliki potensi yang baik dalam mengakses sumber literasi di media online, namun sepertinya masyarakat Indonesia kurang memanfaatkan smartphone mereka dengan baik, sehingga menyebabkan budaya membaca atau berliterasi tidak berjalan dengan baik. Sehingga, negara Indonesia menjadi negara yang mudah untuk diprofokasi akibat kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang kurang suka untuk membaca dan menelusuri kebenaran dari sebuah informasi.
Ketersedian perpustakaan di negara kita ini terbilang sudah banyak. Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando bahwa Indonesia memiliki 164.610 buah perpustakaan yang tersebar di di seluruh Indonesia. Angka ini terbilang sangat banyak dan dapat mengantarkan Indonesia berada di peringkat ke dua sebagai negara yang memiliki jumlah perpustakaan terbanyak di Asia setelah india. Jumlah ketersediaan perpustakaan ini nyatanya tidak sebanding dengan antusiasme dan tingginya minat membaca di Indonesia, baik dari kalangan pelajar maupun masyarakat secara umum. Hal ini seharusnya seimbang dengan kemampuan masyarakat untuk berliteasi (Putri, 2022)
Perlu kita disadari bahwa sejatinya gerakan literasi dimulai dari keluarga, bukan dari sekolah. Keluarga merupakan tempat berkumpulnya orang tua dan anak di rumah. Disinilah peran keluarga sebagai salah satu pelaku pendidikan dalam mengembangkan budaya literasi. Dalam konteks pendidikan, keluarga dalam hal ini orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak. Perwujudan budaya literasi bagi keluarga bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan. Hal yang paling utama dibangun adalah adanya kesadaran dan rasa butuh terhadap pentingnya budaya literasi keluarga. Sebab jika hal tersebut belum diterapkan secara bertahap, maka akan sulit budaya literasi terwujud. Yang intinya adalah perlunya pembiasaan dan konsistensi dari peran orang tua terhadap anak (Iswanto, 2019).
Selain dari pihak keluarga sebagai lingkungan pertama dalam menumbuhkan budaya literasi, sekolah juga berperan penting untuk mendidik peserta didiknya agar dapat melakukan budaya literasi. Sekolah harus memiliki program gerakan literasi sekolah yang baik. Gerakan literasi sekolah tidak dapat diterapkan secara spontan, namun dilaksanakan secara bertahap. Gerakan literasi sekolah harus mempertimbangkan kesiapan dan waktu yang dimiliki sekolah. Kesiapan tersebut mencakup kapasitas fisik sekolah (ketersediaan fasilitas, sarana, dan prasarana literasi), kesiapan warga sekolah (siswa, guru, orang tua, dan masyarakat), serta kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan (Dafit & Ramadan, 2020).
Siswa sekolah dasar memang siswa yang cukup unik, selain mereka tumbuh dan berkembang, mereka juga perlu untuk berkreasi dalam hal berliterasi. Berliterasi di SD tidak harus dibatasi hanya perihal membaca, menulis, mendengarkan, atau berbicara. Literasi bisa diwujudkan dala bentuk kreasi atau produk. Berdasarkan observasi, di salah satu SD swasta di Kabupaten Malang yakni SDS Modern Al-Rifa’ie, siswa merasa tidak suka membaca karena di rumah tidak terbiasa membaca, apalagi membaca berita tentang informasi dunia pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, agama, bahkan isu–isu terbaru. Untuk menumbuhkan budaya literasi, maka perlu aktualisasi yakni berliterasi yang berwujud produk dan menarik minat peserta didik. Bagi siswa di kelas tingg, berliterasi dapat dilakukan dengan membuat klipping yang bagus agar siswa lebih kreatif dan kolaboratif serta mampu memahai informasi terkini. Dengan klipping, informasi yang berupa wujud lembaran dapat dibentuk ke dalam klipping yang unik sesuai dengan minat peserta didik. Siswa akan dibentuk ke dalam 5 sampai 6 orang untuk membuat klipping. Kegiatan ini dilakukan di akhir semester sebagai wujud penerapan P5 kurikulum merdeka. Dalam pelaksanaannya diperlukan menejemen sekolah yang baik dengan bantuan guru dan orang tua, agar setiap tantangan dan kendala dalam kegiatan ini dapat diminimalisir, sehingga peserta didik dapat melakukan budaya literasi secara bertahap agar menjadi manusia yang mampu berliterasi dengan bijak.
Sumber Rujukan
Dafit, F., & Ramadan, Z. H. (2020). Pelaksanaan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 4(4), 1429 - 1437.
Devega, E. (2020). TEKNOLOGI Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos. Retrieved 2 5, 2023, from KOMINFO: https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media
Iswanto, D. (2019, 11 8). Membudayakan Literasi dalam Keluarga. Retrieved 2 6, 2023, from Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Jawa Tengah: https://bbpmpjateng.kemdikbud.go.id/membudayakan-literasi-dalam-keluarga/
Putri, A. N. (2022, 6 6). Minat Literasi dan Ketersediaan Perpustakaan di Indonesia. Retrieved 1 5, 2023, from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/lintangzz/629d8d35d263454886331232/minat-literasi-dan-ketersediaan-perpustakaan-di-indonesia
Komentar
Posting Komentar