Masa filsafat modern diawali dengan
munculnya Renaissance sekitar abad 15 dan 16 M, kata “renaissance” berarti
kelahiran kembali. Yang dimaksud dengannya adalah usaha untuk menghidupkan
kembali kebudayaan klasik (Yunani Romawi). Pokok permasalahan pada masa ini,
sebagaimana periode skolastik adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah
yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada
berbagai bidang kemanusiaan baik sebagai individu maupun sosial. Filosof pada
masa renaissance antara lain Francis Bacon. Dia berpendapat bahwa filsafat
harus dipisahkan dari teologi meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat
menunjukkan Tuhan. Tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan
lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu sedangkan wahyu
sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk
orang- orang yang membenarkan konsep ganda, yaitu kebenaran wahyu dan akal.
Sejarah filsafat modern lalu bisa dilukiskan sebagai pemberontakan intelektual
terus menerus terhadap metafisika tradisional. Karena pemikiran yang
berdasarkan pada iman (teologi) lebih dikalahkan oleh pemikiran yang
berdasarkan pada akal (rasio). Disisi lain filsafat modern juga menjadi sebuah
emansipasi, sebuah kemajuan berfikir yang sebelumnya didominasi oleh pemikiran
metafisika tradisional yang didukung oleh kekuasaan gereja. Pada posisi ini
mendukung radikalisasi lebih lanjut yaitu pemisahan ilmu pengetahuan dari
filsafat. Kalau filsafat tradisional lebih mempermasalahkan kepada hal- hal
yang bersifat teosentris yaitu persoalan kenyataan Adi Kodrati, entah yang
disebut Allah, ruh dan sebagainya. Filsafat modern lebih mempermasalahkan
kepada hal- hal yang bersifat antroposentris yaitu bagaimana menemukan dasar
pengetahuan yang shohih tentang semua itu hal ini menjadi sebuah usaha untuk
melepaskan diri dari tradisi. Oleh karena itu, diluncurkan tema- tema sebagai
refleksi baru seperti: rasio, persepsi, afeksi sehingga pada masa filsafat
modern ini pengetahuan baru sudah banyak muncul seperti yang sekarang ini kita
kenal dengan “ilmu pengetahuan modern” yakni ilmu-ilmu alam. bahwa manusia bisa
mengadakan perubahan - perubahan secara kualitatif.
Pada zaman renaisans ada banyak
penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara tokoh-tokohnya adalah:
1. Nicolaus Copernicus (1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia
dan belajar di Universitas Cracow. Walaupun ia tidak mengambil studi astronomi,
namun ia mempunyai koleksi buku-buku astronomi dan matematika. Ia sering
disebut sebagai Founder of Astronomy. Ia mengembangkan teori bahwa
matahari adalah pusat jagad raya dan bumi mempunyai dua macam gerak, yaitu:
perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran tahunan mengitari matahari.
Teori itu disebut heliocentric. Ini adalah perkembangan besar, tetapi
yang lebih penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup
penelitian terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan
benda-benda tersebut.
2. Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah
seorang penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia menemukan bahwa sebuah
peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola, bukan gerak horizontal
yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia menerima pandangan bahwa
matahari adalah pusat jagad raya. Dengan teleskopnya, ia mengamati jagad raya
dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari bintang-bintang yang banyak
sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri. Selain itu, ia juga
berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan beberapa satelit Jupiter.
3. Francis Bacon (1561-1626)
Francis
Bacon adalah seorang filosof dan politikus Inggris. Ia belajar di Cambridge
University dan kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan serta pernah
terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan scientific
methods, ia berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman
dahulu kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan
kebenaran dengan inductive method, tetapi lebih dahulu harus
membersihkan fikiran dari prasangka yang ia namakan idols (arca). Bacon
telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir
dalam Idols of the Mind.
B.Pengertian Filsafat Pendidikan Modern
Filsafat Modern adalah pembagian dalam sejarah Filsafat
Barat yang menjadi tanda
berakhirnya era skolastisisme. Waktu munculnya filsafat modern adalah abad ke-17 hingga awal abad ke-20
di Eropa Barat dan Amerika Utara. Filsafat Modern ini pun dimulai sejak munculnya rasionalisme lewat pemikiran Descafilrtes, seorang filsuf
terkemuka pada zaman Modern.
Secara
ontologi filsafat pendidikan modern berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam
nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat dibalik alam nyata
ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang
sangat terbatas pagi panca indra. Bagaimana realita yan ada ini, apakah materi
saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap kekal tanpa perubahan, apakah
realita itu berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur ( duanisme ) atau
terdiri dari unsur yang banyak.
Secara
epistemologi filsafat pendidikan pendidikan modern adalah pengetahuan yang
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara
manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.
Menurut Epistemologi, setiap pengetahuan mannusia merupakan hasil dari penyelidikan
hingga akhirna diketahui manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat,
batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan
jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.
Sedangkan secara aksiologi
merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintregasikan semua nilai
tersebut dalam kehidupan manusia.
Kemudian nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kepribadian anak-anak.
Dalam perkembangannya,filsafat
pendidikan modern mempunyai beberapa aliran-aliran diantaranya adalah aliran
perenalisme (berakar pada realisme), esensialisme (berakar pada idealisme dan
realisme), progresivisme, rekonstruksionisme, neopragmatisme ,dan eksistensialisme.
Perennialisme diartikan sebagaiabadi dan kekal
atau tiada akhir. Dengan demikian Perennilaisme ialah berpegang teguh pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi
realita sosial budaya manusia, seperti realita sepohon bunga yang terus-menerus
mekar dari musim ke musim,datang dan pergi, berubah warna secara tetap
sepanjang masa dengan gejala yang terus ada dan sama. Dalam menghadapi
kehidupan zaman yang semakin buruk,Perennialisme memberikan konsep jalan keluar, yakni kembali
kepada kebudayaan yang masih ideal. Setelah perenialisme menjadi terdesak
karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk
bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide
dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang
komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup
yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Menurut Aristoteles Filsafat
perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama
dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan
dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam
abad ke-13. Perenialisme
memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad
pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan
zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah
lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa
kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu
merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu
berguna bagi abad sekarang ini.
Plato,Asas-asas filsafat perenialisme
bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu
perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja
Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan
perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato
dan Aristoteles. Pendapat di
atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat
pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang
sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST.
Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama
Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama
Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham
gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama
perenialisme. Pandangan-pandangan
Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik.
Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh
Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat
pendidikan perenialisme. Neo-Scholastisisme
atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan
ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang
bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang
fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai
manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya,
manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun
yang bersendikan religi. Jadi aliran
perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok
aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini
timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya. Ilmu
pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena
dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang
bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan
melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat
pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula
dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan
tenaganya secara penuh. Jadi
epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian
dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan
kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika
melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang
menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam
premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita
khusus. Menurut
perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip -prinsip
pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan.
Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena
telah memiliki evidensi diri sendiri.
b. Esensialisme
Esensialisme
adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan
tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas.Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan
tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya
masing-masing. Dengan
demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang
disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah
konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap
simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang
sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi
tuntutan zaman. Realisme
modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya
adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai
eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler
mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki
kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat.
Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana
terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi - persepsi
yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.
Tokoh-tokoh Esensialisme
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.
Tokoh-tokoh Esensialisme
Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara
ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan
spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini
adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang
dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah
adalah manifestasi
dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai
pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual.
Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga
merupakan gerak.
George
Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu
sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu
konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan
adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau
nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat
menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
Esensialisme
adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang
utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Idealisme
dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua
aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur
menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal
sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu
timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam
pikir modern. Esensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan
dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Aliran
progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam
semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua
tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi
keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan,
untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena
aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan
untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme
karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan
kepribadian. Dalam pendapat
lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran
itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau
kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk
mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai
pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi
yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya,
sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
Tokoh-tokoh
Progresivisme filsafat
pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William
Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme
merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar
pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar
"dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
Seorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat
terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh
diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat terkenal
dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta
penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James
berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi
organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia
menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari
mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk
membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas
dasar ilmu perilaku. Buku karangannya yang berjudul Principles of Psychology
yang terbit tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan
cepat menjadi buku klasik dalam bidang itu, hal inilah yang mengantar William
James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme radikal.
John
Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika).
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih
menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri.
Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered
School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan
yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My
Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan
bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak
berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan. Salah
seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam
bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula
dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut
instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan
dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan
reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya
terhadap filsafat pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey tidak hanya
berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan
idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik
dan ilmu jiwa. Dia adalah juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat
dari cara-cara kehidupan demokratis.
Kata
rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan
perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Walaupun
demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi
dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan
kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara
tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan yaitu
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan yaitu
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada
prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam
bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua
macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan
abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes,
seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima
atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera
ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera
diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita
sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab
utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai
penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sana sekali
sunyi dan substansi. Alam pikiran
yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung
padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang
ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih
tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau
tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
kehidupannya. Ide ini merupakan
budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang
lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori
semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini
diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin
pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978. Diakui
atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir
bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang
sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey
(1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran
Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang
logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan
perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula
adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih
lanjut di Eropa. William James
mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi
sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya
sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis
Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679)
dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi
filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun
Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme,
telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi
Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan
dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang
berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada
dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia. Atas
dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat
mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya
Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis
untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus
untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari
Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan
pedih bagi umat manusia.
Istilah
eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat
itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya).
Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani. Eksistensialisme merupakan
filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia
dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme
adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme
bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme
adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan
eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang
kongkrit. Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar,
sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri sendiri.
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan
berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang
para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900)
dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik
pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu
menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan
untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal,
setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang.
Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan
pilihan sendiri.
Manusia
adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator
untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai
bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak
terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai
cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan
dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah
pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang
memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya
sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme
biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme
berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal
menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah
benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral.”
Secara
singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional. Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya. Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan
kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau
lepas dari norma-norma umum. Kebebasan lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan
perbuatannya. Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve
Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.” Oleh sebab
itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in
education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan
ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Pandangan eksistensialisme adalah
Menurut
metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki
melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke
pribadian.
Epistimologi:
(hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu
memilih.
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan &
dorongan internal melaui analis & introseksi diri.
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil.
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil.
Etika
(hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti
yang lain.
Estetika
(hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang
oleh dirinya. Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara
bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup.
Komentar
Posting Komentar